Sabtu, 13 April 2013

Pengaruh Impor Beras Terhadap Nasib Petani (Argumentasi)


Pengaruh Impor Beras Terhadap Nasib Petani
Beberapa waktu yang lalu terjadi polemik yang cukup ramai tentang masalah impor beras. Di satu pihak dikemukakan bahwa impor beras harus dilakukan sebagai upaya pengamanan pangan dan di pihak lain impor beras tersebut ditakutkan akan menghancurkan keberadaan para petani beras nasional. Pada akhirnya impor beras swasta tetap boleh dilaksanakan sengan pengenaan biaya masuk yang cukup tinggi. Tindakan mengimpor, dan juga mengekspor, dalam kamus ekonomi makro sebenarnya adalah hal yang biasa. Jika kebutuhan konsumsi belum dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri, artinya terjadi axcess demand, maka car pemenuhannya adalah dengan melakukan impor. Dan sebaliknya jika produksi melebihi konsumsi, yakni terjadi excess  suplly, kegiatan impor ekspor beras bahkan harus terjadi jika masing-masing negara telah melakukan produksi nasionalnya sesuai dengan kondisi comparative advantages masing-masing.
Adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokan petani di wilayah yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah tetap rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah banyka berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi pangan.
Teori akuntansi secara sederhana menjelaskan bahwa harga pokok suatu barang diperoleh dari rasio jumlah yang produksi dengan biaya untuk memproduksinya. Harga pokok tersebut ditambah dengan keuntungan produsen dan marjin tatniaga dari produsen sampai ke konsumen selanjutnya menjadi harga jual di pasar. Dengan demikian upaya menurunkan harga barang sehingga memiliki daya saing di pasar dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Cara pertama adalah dari sisi hasio produksinya. Upaya ini bisa dilaksanakan dengan meningkatkan produktivitas usahanya sehingga diperoleh hasil produksi yang lebih tinggi pada tingkat penggunaan biaya yang sama. Pada kasus perberasan kita, produktivitas tersebut bisa ditingkatkan antara lain melaluiupaya penanaman bibit-bibit unggul yang diperoleh dari hasil penelitian di lembaga-lembaga riset maupun perguruan tinggi. Produktivitas juga bisa ditingkatkan dengan penerapan teknologi maju yang lebh efisien sehingga pada tingkat pengeluaran biaya yang sama akan diperoleh hasil produksi yang lebih banyak.
Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan biaya yang dikeluarkan dari perstuan produk yang dihasilkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar yang harus dikeluarkan petani beras kita adalah biaya untuk tenaga kerja, pupuk, dan obat-obatan. Dengan asumsi bahwa kita tidak ingin mengurangi lapangan kerja atau menurunkan upah buruh tani, maka kompone biaya yang dapat dikurangi adalah biaya pupuk dan obat-obatan. Tentu perlu dilakukan tela’ah yang lebih mendalam mengapa harga pupuk dan obat-obatan menjadi sedemikian mahal. Dengan reformasi di industri pupuk dan obat-obatan seharusnya mampu diproduksi pupk dan obat-obatan yang semurah mungkin. Atau dengan pertanian organik yaitu penerapan teknologi produksi yang minimal dalam menggunakan pupuk dan obat-obatan tetapi tetap tinggi hasilnya.
Dengan tanpa mengirbankan keuntungan petani yang pada dasarnya sudah sangat minim, maka cara ketiga adalah dengan menurunkan marjin tatniaga, yakni selisih harag antara harga jual di tingkat petani produsen dengan harga yang harus dibayarkan konsumen di pasar. Marjin tataniaga ini merupakan gabungan antara biaya tataniaga dengan keuntungan dari masing-masing anggota rantai tataniaga. Dengan demikian marjin tataniaga ini bisa diturunkan dari sisi biaya atatniaganya, pengurangan keuntungan pelaku tataniaganya atau pemendekan jalur / rantai tataniaganya,. Tentu juga diperlukan tela’ah mendalam etntang seberapa besar marjin tataniaga ini, apa saja komponen penyusunnya dan komponen mana yang masih bisa dikurangi atau dihilangkan, sehingga rantai tataniaga memendek, atau diturubkan keuntungannya.
Cara lain yang tidak bisa diperhitungkan secara ekonomi adalah maslah selera (taste). Adanya pengaruh selera akan mengakibatkan perilaku konsumen menjadi tidak rasional dan kondisi pasar menjadi unpredictable. Karena adanya penagruh selera maka sampai batas tertentu konsumen akan tetap membeli meskipun harganya lebih tinggi. Jika konsumen telah memiliki keterikatan selera terhadap beras lokal, maka keberadaan impor sebenarnya tidak terlalu menguatirkan. Sayangnya tuntutan selera seringkali masih dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi.
Jika ditelusur dari sejarah perjalanan bangsa ini, nasib petani boleh dikatakan belum pernah sejahtera. Di samping sukarnya mendapatkan pupuk maupun obat pemberantas hama, para petani juga tidak diuntungkan oleh harga dasar gabah yang relatif rendah. Nasib petani seperti itu seolah tidak pernah dipandang serius oleh pemerintah, dan juga seolah tidak ada yang membelanya.
Bertolak dari kondisi yang semakin terpinggirkan itu, maka layak dan sepantasnya apabila pemerintah tetap harus melindungi kepentingan para petani itu. Di samping itu, pemerintah juga harus mendukung prakarsa-prakarsa petani dalam rangka mengembangkan model pertanian yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomis (economically feasible), sesuai dengan budaya setempat (culturally adapted), dan berkeadilan sosial (socially just) sejalan dengan arah perjuangan bangsa.

Walaupun di negeri ini sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang tidak terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani sederhana dekat dengan tanah dan dengan alam. Mereka hidup berdekatan dan saling memberi perhatian satu sama lain. Dengan kata lain, mereka mengalami harmoni kosmis maupun harmoni sosial. Namun situasi baru lebih dialami sebagai disharmoni baik kosmis maupun sosial.

Kaum tani tidak selalu dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan tanah pertaniannya, entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran industri. Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil keringatnya secara wajar.

Sejak digalakkan ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi, yang tidak jarang disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan para petani kecil. Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati, melainkan modal tanah yang digerogoti. Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, kaum tani kecil tidak dapat polah.

Dalam proses pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli dalam kehidupan politis dan ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai obyek. Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Mereka semakin dicabut dari situasi harmoni dan semakin memasuki disharmoni, baik kosmis maupun sosial.

Meskipun para petani selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih selalu rendah dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor industri. Rendahnya harga pokok pertanian, khususnya gabah, menyebabkan kesejahteraan petani belum meningkat. Tetapi, tidak berarti petani miskin, hanya memang peningkatan itu relatif kecil bila dibanding industri.

Perbedaan kesejahteraan antara petani dan para produsen di sektor industri sedemikian besarnya sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan sementara produsen barang industri hidup serba mewah.

Para petani Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan mau bekerja keras. Jika diamati di semua wilayah memang tidak ada petani Indonesia yang malas, sebab malas akan membawa mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka hadapi.

Rendahnya kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani. Sektor pertanian, khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur pemerintah. Campur tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi pekerja dalam proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka tidak bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan.

Seperti halnya buruh, petani padi pada akhir panen menerima upah berupa harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan petani. Yang menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka berdasarkan harga dasar yang ditentukan pemerintah.

Bertolak dari posisi petani tersebut, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan nasib mereka itu. Dituntut konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pembangunan sektor pertanian yang mengarah ke stabilitas ketahanan pangan dengan memperhatikan nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah menjadi prioritas kebijakan nasional, namun nasib petani belum mendapat prioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar