Pengaruh
Impor Beras Terhadap Nasib Petani
Beberapa waktu yang lalu terjadi polemik yang cukup ramai tentang masalah
impor beras. Di satu pihak dikemukakan bahwa impor beras harus dilakukan
sebagai upaya pengamanan pangan dan di pihak lain impor beras tersebut
ditakutkan akan menghancurkan keberadaan para petani beras nasional. Pada
akhirnya impor beras swasta tetap boleh dilaksanakan sengan pengenaan biaya
masuk yang cukup tinggi. Tindakan mengimpor, dan juga mengekspor, dalam kamus
ekonomi makro sebenarnya adalah hal yang biasa. Jika kebutuhan konsumsi belum
dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri, artinya terjadi axcess demand,
maka car pemenuhannya adalah dengan melakukan impor. Dan sebaliknya jika
produksi melebihi konsumsi, yakni terjadi excess suplly, kegiatan impor ekspor beras bahkan
harus terjadi jika masing-masing negara telah melakukan produksi nasionalnya
sesuai dengan kondisi comparative advantages masing-masing.
Adanya kebijakan
pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokan petani di wilayah yang
surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan
petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah tetap
rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah
banyka berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi
pangan.
Teori akuntansi secara
sederhana menjelaskan bahwa harga pokok suatu barang diperoleh dari rasio
jumlah yang produksi dengan biaya untuk memproduksinya. Harga pokok tersebut
ditambah dengan keuntungan produsen dan marjin tatniaga dari produsen sampai ke
konsumen selanjutnya menjadi harga jual di pasar. Dengan demikian upaya
menurunkan harga barang sehingga memiliki daya saing di pasar dapat dilakukan
dengan berbagai cara.
Cara pertama adalah dari sisi hasio produksinya. Upaya ini bisa
dilaksanakan dengan meningkatkan produktivitas usahanya sehingga diperoleh
hasil produksi yang lebih tinggi pada tingkat penggunaan biaya yang sama. Pada
kasus perberasan kita, produktivitas tersebut bisa ditingkatkan antara lain
melaluiupaya penanaman bibit-bibit unggul yang diperoleh dari hasil penelitian
di lembaga-lembaga riset maupun perguruan tinggi. Produktivitas juga bisa
ditingkatkan dengan penerapan teknologi maju yang lebh efisien sehingga pada
tingkat pengeluaran biaya yang sama akan diperoleh hasil produksi yang lebih
banyak.
Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan biaya yang
dikeluarkan dari perstuan produk yang dihasilkan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar yang harus dikeluarkan petani beras
kita adalah biaya untuk tenaga kerja, pupuk, dan obat-obatan. Dengan asumsi
bahwa kita tidak ingin mengurangi lapangan kerja atau menurunkan upah buruh
tani, maka kompone biaya yang dapat dikurangi adalah biaya pupuk dan
obat-obatan. Tentu perlu dilakukan tela’ah yang lebih mendalam mengapa harga
pupuk dan obat-obatan menjadi sedemikian mahal. Dengan reformasi di industri
pupuk dan obat-obatan seharusnya mampu diproduksi pupk dan obat-obatan yang
semurah mungkin. Atau dengan pertanian organik yaitu penerapan teknologi
produksi yang minimal dalam menggunakan pupuk dan obat-obatan tetapi tetap
tinggi hasilnya.
Dengan tanpa
mengirbankan keuntungan petani yang pada dasarnya sudah sangat minim, maka cara
ketiga adalah dengan menurunkan marjin tatniaga, yakni selisih harag antara
harga jual di tingkat petani produsen dengan harga yang harus dibayarkan
konsumen di pasar. Marjin tataniaga ini merupakan gabungan antara biaya tataniaga
dengan keuntungan dari masing-masing anggota rantai tataniaga. Dengan demikian
marjin tataniaga ini bisa diturunkan dari sisi biaya atatniaganya, pengurangan
keuntungan pelaku tataniaganya atau pemendekan jalur / rantai tataniaganya,.
Tentu juga diperlukan tela’ah mendalam etntang seberapa besar marjin tataniaga
ini, apa saja komponen penyusunnya dan komponen mana yang masih bisa dikurangi
atau dihilangkan, sehingga rantai tataniaga memendek, atau diturubkan
keuntungannya.
Cara lain yang tidak
bisa diperhitungkan secara ekonomi adalah maslah selera (taste). Adanya
pengaruh selera akan mengakibatkan perilaku konsumen menjadi tidak rasional dan
kondisi pasar menjadi unpredictable. Karena adanya penagruh selera maka sampai
batas tertentu konsumen akan tetap membeli meskipun harganya lebih tinggi. Jika
konsumen telah memiliki keterikatan selera terhadap beras lokal, maka
keberadaan impor sebenarnya tidak terlalu menguatirkan. Sayangnya tuntutan
selera seringkali masih dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi.
Jika ditelusur dari sejarah
perjalanan bangsa ini, nasib petani boleh dikatakan belum pernah sejahtera. Di
samping sukarnya mendapatkan pupuk maupun obat pemberantas hama, para petani
juga tidak diuntungkan oleh harga dasar gabah yang relatif rendah. Nasib petani
seperti itu seolah tidak pernah dipandang serius oleh pemerintah, dan juga
seolah tidak ada yang membelanya.
Bertolak dari kondisi
yang semakin terpinggirkan itu, maka layak dan sepantasnya apabila pemerintah
tetap harus melindungi kepentingan para petani itu. Di samping itu, pemerintah
juga harus mendukung prakarsa-prakarsa petani dalam rangka mengembangkan model
pertanian yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara
ekonomis (economically feasible), sesuai dengan budaya setempat (culturally
adapted), dan berkeadilan sosial (socially just) sejalan dengan arah perjuangan bangsa.
Walaupun di negeri
ini sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang tidak
terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani sederhana dekat dengan
tanah dan dengan alam. Mereka hidup berdekatan dan saling memberi perhatian
satu sama lain. Dengan kata lain, mereka mengalami harmoni kosmis maupun
harmoni sosial. Namun situasi baru lebih dialami sebagai disharmoni baik kosmis
maupun sosial.
Kaum tani tidak
selalu dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan tanah
pertaniannya, entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran industri.
Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil keringatnya secara wajar.
Sejak digalakkan ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi,
yang tidak jarang disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan
para petani kecil. Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati,
melainkan modal tanah yang digerogoti. Berhadapan dengan
penguasa dan pengusaha, kaum tani kecil tidak dapat polah.
Dalam proses pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli
dalam kehidupan politis dan
ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai obyek.
Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Mereka semakin dicabut
dari situasi harmoni dan semakin memasuki disharmoni, baik kosmis maupun
sosial.
Meskipun para petani selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya
kesejahteraan ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah
yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih
selalu rendah dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor
industri. Rendahnya harga pokok pertanian,
khususnya gabah, menyebabkan kesejahteraan petani belum meningkat. Tetapi,
tidak berarti petani miskin, hanya memang peningkatan itu relatif kecil bila
dibanding industri.
Perbedaan kesejahteraan antara petani dan para produsen di sektor industri
sedemikian besarnya sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam
kenyataan sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan
sementara produsen barang industri hidup serba mewah.
Para petani Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan
pangan keluarga mereka karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan
mau bekerja keras. Jika diamati di semua wilayah memang tidak ada petani
Indonesia yang malas, sebab malas akan membawa mati
menghadapi segala rintangan alam yang mereka hadapi.
Rendahnya kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani.
Sektor pertanian, khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur
pemerintah. Campur tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari
produsen menjadi pekerja dalam proses produksi
pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka tidak bebas menentukan apa yang mereka ingin
lakukan.
Seperti halnya buruh, petani padi pada akhir panen menerima upah berupa
harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan
petani. Yang menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi
mereka berdasarkan harga dasar yang ditentukan
pemerintah.
Bertolak dari posisi petani tersebut, maka pemerintah
perlu lebih memperhatikan nasib mereka itu. Dituntut konsistensi pemerintah
terhadap kebijakan pembangunan sektor pertanian yang mengarah ke stabilitas
ketahanan pangan dengan memperhatikan nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah
menjadi prioritas kebijakan nasional, namun nasib petani belum mendapat
prioritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar